Kisah: Ketika Allah Cemburu Kepada Rabî’ah aL-Adawiyyah
Rabu, Juni 28, 2017
Tambah Komentar
Tangga pertama dalam
maqam sufi adalah taubat, dan tangga terakhir adalah maqam ma’rifat
yang akan mengantarkan pada rasa mahabbah (cinta). Mahabbah adalah rasa yang
muncul setelah yaqîn dengan wujudnya kekasih (aL-Mahbub). Bagi pecinta (al-muhib)
hatinya telah kosong dari selain kekasih karena telah dipenuhi dengan
keindahan dan keagungan sang kekasih. Dalam maqam pecinta (al-muhib)
seperti ini, nikmat dan bala’ tidak ada bedanya. Setiap nafas yang dikeluarkan
adalah hembusan kalam hikmah, karena ia tidak melihat dan mendengar selain dari
aL-Mahbub (Allah). Sedangkan orang yang telah mencapai derajat al-mahbub
(kekasih Allah), setiap hembusan nafasnya adalah kepastian Allah, karena
ia berjalan di atas makhluk dengan pertolongan Allah.
Derajat al-mahbub
lebih tinggi dari al-muhib, sebab pecinta adalah salik yang terpikat
(al-majdzub), sedangkan al-mahbub adalah orang terpikat (al-majdzûb) yang
salik, al-muhib adalah murîd (pencari) sedang al-mahbûb adalah murod (yang
dicari).
Ibadah dilakukan untuk mu’awadloh (mencari keuntungan), sedangkan
mahabbah untuk taqorrub (persandingan) dengan kekasih.
Dari sinilah manusia bisa
dikelompokkan menjadi empat. Yakni manusia yang mengharapkan pahala
dunia akhirat, manusia yang mengharapkan pahala akhirat saja, manusia yang
mengharapkan pemilik kedua pahala tersebut dan manusia yang sama
sekali tidak memiliki harapan.
Rabî’ah aL-Adawiyyah
(w. 165 H), sepenggal nama yang sangat legendaris dalam dunia tasawuf, telah
dinobatkan sebagai wanita perintis jalan mahabbah ini. Ketika sufi wanita
terkenal dari Bahsrah ini berziarah ke makam Rasûlullâh saw.
pernah mengatakan;
“Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup
untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah swt.”.
Tentang cinta itu sendiri Rabî’ah mengajarkan bahwa cinta harus
menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabî’ah
tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini
mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari
semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai
Rasûlullâh saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah swt. Seorang mukmin pecinta Allah
pastilah mencintai segala yang di cintai-Nya pula.
Rasulullah pernah
berdoa: “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada
orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu.
Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin.”
Untuk mencapai
mahabbah ini, ada tangga-tangga (maqamat) yang harus dilewati, yakni taubat,
zuhud, wara’, sabar, syukur dan ridlo. Pembagian tangga-tangga ini hanya
sebatas teknis untuk memahamkan dan tidak bisa dipahami secara formal, dalam
arti harus dijalani secara berurutan satu demi satu, melainkan boleh jadi
semuanya dilakoni secara sekaligus. Dosa bagi penempuh jalan sufi adalah
suatu yang sangat menyakitkan karena dapat memisahkan dengan Kekasih.
Keyakinan bahwa dosa menjadi jurang pemisah dengan kekasih inilah
yang akan membimbing seseorang tulus dalam taubat.
Setelah kerak dosa berhasil dihapus dengan taubat, maka dibutuhkan sebuah sikap penjagaan dari dosa, sikap yang harus dilakukan sebagai usaha ini adalah dengan gaya hidup zuhud dan wara’.
Dalam perspektif sufi ada dua bentuk
zuhud yang bisa dilakukan.
Pertama zuhud dalam bentuk simbolis di mana
seseorang menempatkan dunia di bawah kecintaan kepada Allah, artinya berharta
namun tak sedikitpun terlintas dalam hati memilikinya.
Kedua, zuhud total,
yakni penolakan secara total segala sarana dan fasilitas duniawi. Jalan zuhud
yang kedua inilah yang dipilih Rabî’ah sehingga membawanya pada sikap yang
tidak bisa digoda oleh kemegahan dan kelezatan dunia.
Sikap zuhud atau menceraikan dunia dari hati harus diimbangi dengan sikap sabar dan syukur menghadapi setiap gelombang dan ombak kehidupan sehingga akan muncul sikap senantiasa ridlo dengan segala kehendak dan ketentuan Allah.
Dalam
konteks seperti ini, Rabî’ah pernah ditanya tentang ridlo, kapankah seorang hamba dikatakan
ridlo?
Dia menjawab; “apabila bagimu penderitaan sama menggembirakannya dengan
anugrah”.
Pernah ketika Rabî’ah sedang menderita sakit, Sufyan As-Saury
memintanya berdoa agar lekas disembuhkan. Tetapi Rabî’ah malah mengatakan;
“jika Allah bermaksud mengujiku, mengapa aku harus berpura-pura tidak tahu atas
kehendak-Nya?
Pernah juga suatu hari ketika Rabî’ah sedang shalat, batu bagian
atas rumahnya jatuh mengenai kepalanya hingga berdarah. Ia tidak merasakan
sedikitpun rasa sakit dan tetap melanjutkan shalat.
Selesai shalat ia ditanya;
Rabî’ah, apa engkau tidak merasakan sakit?
Ia menjawab; “Tidak, sebab Allah
telah menjadikan diriku ridlo menerima setiap kehendak-Nya. Setiap yang terjadi
adalah atas kehendak-Nya”.
Di bawah kendali
sikap sabar dan syukur inilah hamba akan senantiasa ridlo dengan
setiap suratan Ilâhi yang telah digariskan. Mengeluh dan tidak menerima (ridlo)
ketika ditimpa musibah adalah sikap berontak dan menggugat atas ketetapan-Nya.
Sikap hamba seperti ini membuktikan masih mempersoalkan otoritas keagungan
tuannya.
Keberhasilan melewati ritus-ritus di atas maka akan sampailah pada mahabbah yang merupakan puncak dari ajaran Rabî’ah.
Ajaran cinta ini
sebenarnya telah melampaui ajaran yang digagas oleh Hasan aL-Bashry
yang bertumpu pada dorongan rasa takut (khauf) dan harapan (roja’). Bahkan
Rabî’ah pernah melontarkan kritikan cerdas terhadap cara penyembahan Allah yang
bertumpu pada khauf dan roja’.
Dikisahkan, suatu hari sejumlah orang melihat
Rabî’ah membawa sebatang obor dan seember air sambil berlari-lari. Mereka
menegurnya, “wahai perempuan tua, hendak ke manakah engkau, dan apa arti semua
ini? Rabî’ah menjawab; “aku akan menyulut api di surga dan menyiramkan air di
neraka sehingga hijab di antara keduanya akan tersingkap sama sekali dari
orang-orang yang berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, lalu hamba–hamba Allah
yang setia akan mampu menatap-Nya tanpa motifasi baik rasa takut atau harapan.
Apa jadinya sekira harapan akan surga dan rasa takut akan neraka tidak ada sama
sekali? Maka tidak ada seorang pun yang akan menyembah Allah”.
Menurut perspektif
Rabî’ah, cinta membutuhkan totalitas, sehingga sikap yang harus
dilakukan adalah bagaimana kekasih tidak merasa cemburu. Allah maha
pencemburu. Jika tidak, kenapa Allah sangat murka dan tidak memaafkan
ketika hambamenduakannya dengan sesembahan lain (musyrik)? Dikisahkan,
suatu hari beberapa jamaah Rabî’ah mengunjunginya. Saat itu, Rabî’ah sedang
terbaring sakit dengan tubuh lemah dan pucat.
Mereka menyapa;
“Rabî’ah, bagaimana keadaanmu?”
Rabî’ah menjawab;
“Aku juga tidak tahu apa penyebab penyakitku ini. Demi Allah diperlihatkan
kepadaku surga, lalu aku terlintas untuk memilikinya. Mungkin Allah cemburu
terhadap sikapku ini, lalu Dia mencelaku. Dia menghendaki agar aku kembali
kepada-Nya dan menyadari kesalahanku”.
Inilah ajaran mahabbah
yang dirilis Rabî’ah, sekedar membayangkan surga saja, ia sudah
menganggap Kekasihnya cemburu. Sebuah kecemburuan suci. Jangankan
kenikmatan duniawi, kenikmatan akhirat pun tidak ia harapkan, karena yang
menjadi cita-citanya cuma satu; berjumpa dengan sang Kekasih (Allah).
Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah
akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahan (jamâl) dan keagungan-Nya
(jal’âl) yang sempurna (kamâl). Rumusan cinta Rabî’ah dapat disimak
dalam doa mistiknya:
“Oh Tuhan, jika aku
menyembah-Mu karena takut api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya dan
besarkan tubuhku di neraka hingga tidak ada tempat lagi bagi hamba–hamba-Mu
yang lain.
Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga, maka campakkanlah
aku dari sana dan berikan surga itu untuk hamba–hamba-Mu yang lain; sebab
bagiku engkau saja sudah cukup; Tapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau
semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi.”
Dalam kitab
aL-Mahabbah, Imam aL-Ghazâly mengatakan bahwa cinta kepada Allah
adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki level
tertinggi.
“(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. aL-Mâidah : 54)
“(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. aL-Mâidah : 54)
Sumber: warkopmbahlalar.com
Belum ada Komentar untuk "Kisah: Ketika Allah Cemburu Kepada Rabî’ah aL-Adawiyyah"
Posting Komentar