-->

Tolak Dinikahi, Perkataan Tajam Rabi’ah Al-Adawiyah Membuat Laki-laki Ini Menangis

Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah pada tahun 95 H (717 M) menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi.ah dari suku Atiq, dan ayahnya bernama Ismail.[1]

 wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian.

Menurut Abdul Mun’in Qandil, Rabi’ah termasuk dalam kelompok manusia yang mempunyai naluri yang tinggi, melebihi manusia biasa. Keinginannya yang bersifat manusiawi telah tunduk dan menyerah di bawah keinginan yang suci karena kebutuhan hidupnya yang sangat mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya. Dorongan sexsual tidak lagi sebagai gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak terpenuhi dengan perkawinan. Kondisi demikian dalam psikologi dapat disebut dengan substitusi yaitu suatu cara untuk menghilangkan sebab-sebabnya. Keinginan Rabi’ah yang bersifat manusiawi telah dialihkan atau dipuaskan (disubstitusikan) dengan rasa cinta kepada Allah Swt.[2]

Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang yang dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu. Abdul Wahid meminta temannya untuk menjadi perantara kepada Rabi’ah namun ketika perantara itu menemuinya Rabi’ah kemudian berkata: “Wahai orang yang bernafsu kepadaku, carilah wanita yang bernafsu sepertimu.”[3]

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan menulis surat kepada rabi’ah kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki gaji sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.” [4]

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.”

Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.”
 Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Khusnus Khatimah atau Suul Khatimah?”

Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, “Apa yang akan Anda katakan, jika ragaku telah diletakkan di bumi pemakaman, dan telah menanyaiku Munkar-Nakir, apakah aku mampu menjawab pertanyaan darinya?” 

Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “
Rabi’ah al-Adawiyah mengajukan pertanyaan yang ketiga: Jika manusia telah diarak, di akhirat kelak, masing-masing dari mereka menerima kitab amal perbuatannya. dan aku telah benar-benar menerima kitab amal-perbuatanku, ditangan mana aku menerimanya, apakah tangan kiri atau tangan kanan?
Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu. “

Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti,  “Jika telah dipanggil manusia, beberapa diantara mereka ada yang di syurga, ada yang dineraka, dimanakah aku berada diantara dua golongan ini?”

Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.
Setelah semua pertanyaan, dijawab oleh Hasan Basri. Rabi’ah mengatakan: Seseorang yang baginya ghaib tentang empat hal ini, bagaimana dia disibukkan dengan pernikahan?

Wahai Hasan. Rabi’ah melanjutkan perkataannya. akhbirnii kam juz khalaqa allah al-a’ql. kabarkan kepadaku, berapa bagian Allah Membagi akal?
‘asyrah ajzaa’, tis’ah li ar-rijaal wa waahid li an-nisaa’. sepuluh bagian. kata Hasan Bashri. yaitu; sembilan bagian diperuntukkan laki-laki dan satu bagian diperuntukkan perempuan.

Lalu, berapa bagian Allah membagi nafsu? Tanya kembali Rabi’ah.
‘asyrah ajzaa’, tis’ah li an-nisaa’ wa waahid li ar-rijaal. sepuluh bagian. jawab Hasan Basri. yaitu; sembilan bagian diperuntukkan perempuan dan satu bagian diperuntukkan laki-laki.

“Wahai Hasan” kata Rabi’ah, aku dianugrahi kemampuan menjaga sembilan bagian nafsu dengan satu bagian akal, dan engkau tidak mampu menjaga satu bagian nafsu dengan sembilan bagian akal.
Hasan Bashri. Waliyullah, Ulama’, Ahl Haqiqah diangkatan tabi’in ini menangis dari apa yang dikatakan Rabi’ah al-Adawiyah. dan Dia-pun keluar  dari kediaman Rabi’ah. Intahaa.

Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:


Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.



[1] Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi, Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20.
[2] Sururin, Op.Cit., hlm. 40.
[3] Louis Massignon dan Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 120.
[4] Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, Op.Cit.,hlm. 28-29.

Belum ada Komentar untuk "Tolak Dinikahi, Perkataan Tajam Rabi’ah Al-Adawiyah Membuat Laki-laki Ini Menangis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel