Tolak Dinikahi, Perkataan Tajam Rabi’ah Al-Adawiyah Membuat Laki-laki Ini Menangis
Rabu, Juni 28, 2017
Tambah Komentar
Rabi’ah al-Adawiyah
memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir
di Basrah pada tahun 95 H (717 M) menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi.ah dari
suku Atiq, dan ayahnya bernama Ismail.[1]
wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan
dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan
tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh
urusan-urusan keduniawian.
Menurut Abdul Mun’in
Qandil, Rabi’ah termasuk dalam kelompok manusia yang mempunyai naluri yang
tinggi, melebihi manusia biasa. Keinginannya yang bersifat manusiawi telah
tunduk dan menyerah di bawah keinginan yang suci karena kebutuhan hidupnya yang
sangat mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya. Dorongan
sexsual tidak lagi sebagai gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak terpenuhi
dengan perkawinan. Kondisi demikian dalam psikologi dapat disebut dengan
substitusi yaitu suatu cara untuk menghilangkan sebab-sebabnya. Keinginan
Rabi’ah yang bersifat manusiawi telah dialihkan atau dipuaskan
(disubstitusikan) dengan rasa cinta kepada Allah Swt.[2]
Padahal, tidak
sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya.
Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang yang dihormati dan
berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu. Abdul Wahid meminta temannya untuk
menjadi perantara kepada Rabi’ah namun ketika perantara itu menemuinya Rabi’ah
kemudian berkata: “Wahai orang yang bernafsu kepadaku, carilah wanita yang
bernafsu sepertimu.”[3]
Laki-laki lain yang
pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman
al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha
mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar
perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan menulis surat kepada rabi’ah kepada
Rabi’ah bahwa ia masih memiliki gaji sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi
dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan
menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau
akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.” [4]
Dalam kisah lain
disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga
berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu
mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu,
Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang
paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.”
Rabi’ah kemudian
mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat
pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.”
Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan
jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
“Pertanyaan
pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat
kematianku nanti, akankah aku mati dalam Khusnus Khatimah atau Suul Khatimah?”
Hasan menjawab,
“Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”
“Pertanyaan kedua, “Apa
yang akan Anda katakan, jika ragaku telah diletakkan di bumi pemakaman, dan
telah menanyaiku Munkar-Nakir, apakah aku mampu menjawab pertanyaan
darinya?”
Hasan menjawab,
“Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “
Rabi’ah al-Adawiyah
mengajukan pertanyaan yang ketiga: Jika manusia telah diarak, di akhirat kelak,
masing-masing dari mereka menerima kitab amal perbuatannya. dan aku telah
benar-benar menerima kitab amal-perbuatanku, ditangan mana aku menerimanya,
apakah tangan kiri atau tangan kanan?
Hasan kembali
menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu. “
Pertanyaan terakhir,
pada saat Hari Perhitungan nanti, “Jika telah dipanggil manusia, beberapa
diantara mereka ada yang di syurga, ada yang dineraka, dimanakah aku berada
diantara dua golongan ini?”
Hasan lagi-lagi
menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui
semua rahasia yang tersembunyi itu.
Setelah semua
pertanyaan, dijawab oleh Hasan Basri. Rabi’ah mengatakan: Seseorang yang
baginya ghaib tentang empat hal ini, bagaimana dia disibukkan dengan
pernikahan?
Wahai Hasan. Rabi’ah
melanjutkan perkataannya. akhbirnii kam juz khalaqa allah al-a’ql. kabarkan
kepadaku, berapa bagian Allah Membagi akal?
‘asyrah ajzaa’,
tis’ah li ar-rijaal wa waahid li an-nisaa’. sepuluh bagian. kata Hasan Bashri.
yaitu; sembilan bagian diperuntukkan laki-laki dan satu bagian diperuntukkan
perempuan.
Lalu, berapa bagian
Allah membagi nafsu? Tanya kembali Rabi’ah.
‘asyrah ajzaa’, tis’ah li an-nisaa’ wa waahid li ar-rijaal. sepuluh bagian. jawab Hasan Basri. yaitu; sembilan bagian diperuntukkan perempuan dan satu bagian diperuntukkan laki-laki.
‘asyrah ajzaa’, tis’ah li an-nisaa’ wa waahid li ar-rijaal. sepuluh bagian. jawab Hasan Basri. yaitu; sembilan bagian diperuntukkan perempuan dan satu bagian diperuntukkan laki-laki.
“Wahai Hasan” kata
Rabi’ah, aku dianugrahi kemampuan menjaga sembilan bagian nafsu dengan satu
bagian akal, dan engkau tidak mampu menjaga satu bagian nafsu dengan sembilan
bagian akal.
Hasan Bashri.
Waliyullah, Ulama’, Ahl Haqiqah diangkatan tabi’in ini menangis dari apa yang
dikatakan Rabi’ah al-Adawiyah. dan Dia-pun keluar dari kediaman Rabi’ah. Intahaa.
Dalam penolakannya
itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku, wahai
saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Allah adalah teman
sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah
saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan
keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap
dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta
Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau
teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Rabi’ah tak
putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia
berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah
telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah.
Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta
adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang
mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan
ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari
Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah
mengatakan:
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
[1] Sururin, Rabi’ah
al-Adawiyah Hubb al-Ilahi, Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20.
[2] Sururin,
Op.Cit., hlm. 40.
[3] Louis Massignon
dan Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta,
2001, hlm. 120.
[4] Asfari Ms dan
Otto Sukatno CR, Op.Cit.,hlm. 28-29.
Belum ada Komentar untuk "Tolak Dinikahi, Perkataan Tajam Rabi’ah Al-Adawiyah Membuat Laki-laki Ini Menangis"
Posting Komentar