(Runungan)Dibalik Tirai Kematian
Selasa, Juni 13, 2017
Tambah Komentar
Kearifan seorang muslim ditandai dengan bagaimana dia memandang
hidup di dunia ini. Begitu banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang
mengisyaratkan betapa tiada berartinya hidup di dunia jika dibandingkan dengan
kehidupan abadi di akherat. Pandangan yang mengedepankan materi bukanlah yang
diajarkan oleh Islam, sekalipun seorang muslim tidak juga dibenarkan untuk
mengabaikan kehidupan duniawi yang dijalaninya.
Sebenarnya orang tidak perlu terheran-heran karena kematian
mendadak. Cara mati memang bisa beraneka macamnya, namun yang dapat
didefinisikan sebagai suatu kematian ya itu itu juga. Allah memiliki kekuasaan
mutlak untuk mengakhiri perjalanan hidup setiap orang dan tiada suatu kekuatan
apa pun juga yang mampu menentang kekuasaan ini. Adapun kematian tiba-tiba yang
menimpa seseorang karena gagalnya salah satu organ tubuh seperti serangan
jantung hanyalah satu diantara sekian banyak cara.
Yang seharusnya membuat setiap muslim terpana dan merenungi
kematian seperti dikatakan diatas adalah hikmah dan isyarat Allah dibaliknya.
Kematian mendadak yang pada suatu kali menimpa sahabat kita, bisa juga terjadi
pada setiap orang termasuk diri kita sendiri. Kemudian timbullah pertanyaan,
sudahkah kiranya kita berbenah diri menghadapinya? Sudahkah kita siap menempuh
perjalanan panjang ini?
Di dalam kehidupan manusia di dunia ini, Allah memberikan berbagai
macam contoh dan perbandingan. Contoh-contoh dan perbandingan ini diciptakan
Allah agar manusia mengambil hikmah dan belajar, untuk kemudian melangkah
meniti hidupnya sesuai dengan ridho dan amanah yang dibebankan Allah kepadanya.
Tak satu pun dari contoh dan perbandingan-perbandingan ini yang sia-sia karena
memang tak ada ciptaan Allah yang demikian.
Berakhirnya kehidupan seseorang secara tiba-tiba adalah satu dari
sekian banyak contoh atau ”i’tibar” yang diciptakan Allah bagi manusia yang
lain. Tujuannya agar kita menjadi waspada dan berhati-hati. Tujuannya agar kita
juga tahu bahwa kematian tidak selalu relevan dengan usia muda dan kondisi kesehatan
seseorang. Sayangnya, tidak banyak orang yang pandai melihat sisi ini. Umumnya
orang cuma termangu dan terkejut. Orang kemudian menangis dan bercerita panjang
lebar tentang kisah perjalanan sahabat kita itu semasa hidupnya. Kita lupa
bahwa hakikat dari peristiwa ini sama sekali bukanlah semua itu.
Diatas saya katakan bahwa menjadi seorang muslim, kita harus arif
mempersepsi hidup ini. Kearifan dan kebijakan hendaknya terwujud dan
teraplikasikan dalam perilaku kita sendiri. Menunda-nunda kebajikan dan amal
saleh adalah pertanda ketidak-arifan. Menyia-nyiakan kesempatan, usia dan waktu
yang diberikan Allah kepada kita hari ini adalah sikap yang tidak bijaksana.
Lihatlah bagaimana hampir setiap orang berusaha mempersiapkan dan
menata hari depannya sebaik dan secermat yang ia bisa. Manusia senantiasa
dibayangi oleh kecemasan dan kegelisahan hari esok. Alfin Toffler menulis
sebuah buku berjudul Future Shocks karena menurut dia masa-masa mendatang akan
penuh dengan kejutan. Orang berusaha menabung karena khawatir akan masa tua dan
hari-hari mendatang. Padahal, sebagai muslim, kita juga selalu diingatkan bahwa
hari depan sebenarnya yang perlu dipersiapkan sebaik-baiknya adalah hari depan
akhirat yang tiada akhirnya. Di dalam surat Al-Hasyr ayat 18 Allah mengingatkan
kita untuk bertakwa kepadaNya dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).
Islam mengatur kehidupan manusia di dunia dengan proporsi yang
seimbang. Kehidupan duniawi harus diperjuangkan dan ditempuh dengan
sebaik-baiknya. Untuk mempertahankan dan melestarikan misi manusia di dunia,
orang perlu berusaha dan bekerja keras. Islam memandang kemiskinan dan
kebodohan sebagai penyakit yang harus dikikis sebab kemajuan dan perkembangan
suatu umat sangat ditentukan oleh kesejahteraan dan pendidikan. Namun disisi
yang lain, Al-Qur’an senantiasa mengingatkan kita, betapa rapuh dan penuhnya
kehidupan duniawi ini dengan tipu daya dan senda gurau. Banyak petunjuk Allah
dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan betapa jauhnya perbandingan kehidupan di
dunia yang serba fana ini dengan rona kehidupan akhirat yang abadi dan tak
pernah ada akhirnya.
Maka beruntunglah mereka yang dapat memanfaatkan setiap helaan
napas yang diberikan Allah kepadanya untuk meningkatkan amal saleh dan baktinya
kepada Sang Pencipta. Beruntunglah mereka yang tidak menyia-nyiakan usia muda,
kesehatan, kesenggangan dan umurnya untuk mempersiapkan kehidupan berikutnya,
sebelum dijemput oleh ketuaan, sakit, kesibukan dan kematian.
Diatas saya mengatakan bahwa seorang muslim yang arif adalah mereka
yang tidak menunda apa yang dia bisa lakukan hari ini. Menunda kebajikan di
dalam hidup kita, tak ubahnya bagai menunda suatu kemenangan di depan mata.
Menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah, adalah laksana menanti
kekalahan yang akan disusul oleh penyesalan berkepanjangan. Tengoklah betapa
cermatnya petunjuk Al-Qur’an yang difirmankan Allah dalam Ali ’Imran 133 :
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.”
Amati dengan baik penggunaan kata ”saari’u” dalam ayat ini yang menandakan
perlunya kita bersegera diri meraih ampunan Allah dan memperoleh tempat di
surga yang luasnya sama dengan luas langit dan bumi dipadu jadi satu. Surga
yang demikian tiada berbatas dan penuh dengan segala kenikmatan, disediakan
Allah bagi mereka yang bertakwa.
Tadi saya mengatakan bahwa di dalam kehidupan manusia di dunia ini,
Allah menciptakan berbagai contoh dan perbandingan untuk menjadi bahan kajian.
Dari sekian banyak contoh yang ada dalam Al-Qur’an, saya ingin mengajak pembaca
menelaah firman Allah dalam surat Ali ’Imran 188 yang
kira-kira maknanya begini : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.”
Diriwayatkan oleh At-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Ibnu Abbas bahwa suatu kali orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang
Yahudi menanyakan mu’jizat yang dibawa Musa kepada mereka. Orang-orang Yahudi
pun menjawab, ”Tongkat dan tangannya yang putih bercahaya.” Setelah itu mereka
pun bertanya kepada orang-orang Nasrani tentang mu’jizat yang telah dibawa Isa
bagi kaum Nasrani. Jawabannya adalah, Isa dapat menyembuhkan orang yang buta
sejak lahir dan bahkan menghidupkan orang mati. Ketika orang-orang ini kemudian
menghadap Rasul dan minta Rasul berdoa agar gunung Shafa menjadi emas, maka
turunlah ayat diatas. Ayat ini mengisyaratkan agar mereka memperhatikan apa
yang telah ada, yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang-orang yang bisa
menggunakan akalnya.
Kematian secara tiba-tiba yang menimpa seseorang kiranya juga
merupakan satu dari sekian banyak ayat Allah di dalam perjalanan hidup manusia
di dunia. Mereka yang tidak jeli membaca dan merenungkan ayat ini akan
terkejut, terbingung-bingung tapi kemudian melewatkannya begitu saja. Namun orang-orang
yang mampu membacanya dengan arif dan seksama, akan menjadikan ayat ini sebagai
petunjuk dan sekaligus peringatan berbenah diri tanpa harus terlalu terkejut.
Tak ada satu pun makhluk di permukaan bumi ini yang menghendaki
kematian.
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 94 Allah menantang dengan firmanNya
yang berbunyi :
”Katakanlah, jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga)
itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah
kematian (mu) jika kamu memang benar.”
Kalau saja orang berpotensi menentukan pilihan, kiranya setiap
orang akan memilih hidup selamanya. Orang memandang kematian sebagai pungkasan
dari semua kebahagiaan dan kemilau dunia. Kematian berarti berakhirnya semua
kekuasaan, kepopuleran, kekayaan dan semua atribut yang senantiasa menjadi
kejaran manusia.
Namun manusia memang tak kuasa menentukan pilihan hidup dan mati.
Kematian adalah suatu proses yang harus dialami setiap orang sekalipun ia
berusaha berlindung di benteng berlapis. Mengapa setiap orang harus melewati
proses ini ? sebab hidup ini laksana hamparan ruang ujian sementara kematian
adalah pintu menuju penentuan lulus dan tidak. Renungkan petunjuk Allah di awal
surat Al-Mulk :
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Tanpa proses kematian tentu tak akan ada yudisium penentuan lulus
dan tidak. Tanpa pintu kematian, tak akan ada ketetapan siapa yang berhasil
atau gagal melewati misi manusia sebagai wakil Allah di permukaan bumi.
Kematian mendadak yang menimpa seseorang sudah barang tentu akan
direspon keluarganya dengan penuh duka cita. Siapa yang tak akan terperanjat
dan tersentak ketika tiba-tiba seseorang yang begitu dekat dengan kita mendadak
harus pergi untuk selama-lamanya. Namun, coba kita renungkan, alangkah
beruntungnya orang yang harus berpisah dengan dunia ini tanpa harus mengalami
penderitaan yang panjang.
Banyak diantara kita yang sudah menyaksikan penderitaan panjang
orang sebelum akhirnya harus meninggal juga. Bayangkan rasa sakit, kekesalan
dan putus asa yang harus diderita orang-orang dengan penyakit tertentu.
Bayangkan pula kesulitan membiayai semua ini terutama bagi mereka yang tidak
berkantong tebal.
Saya justru melihat ada sisi istimewa dari seorang muslim yang
mendapat kesempatan mati tanpa sakit, penderitaan dan beban menyusahkan orang
lain. Boleh jadi, di hadapan Allah, orang-orang seperti ini menyimpan kebajikan
tersendiri sehinga dibalas Allah dengan kenikmatan trakhir di dunia seperti
ini.
Saya tahu, ketika saya menggunakan kata ”kenikmatan”, banyak
diantara kita akan bertanya-tanya. Sebelum pertanyaan dilontarkan, ijinkan saya
bertanya terlebih dahulu …… Adakah diantara kita, yang karena enggan kepada
kematian, lebih suka menjalani penderitaan-penderitaan panjang yang saya
gambarkan tadi sebelum akhirnya harus mati juga ……. ?
Source: http://forsansalaf.com
Belum ada Komentar untuk "(Runungan)Dibalik Tirai Kematian"
Posting Komentar