Puasa Melatih Manusia Menjadi Hamba yang Jujur
Kamis, Juni 08, 2017
Tambah Komentar
Narasumber: KH. Dr. Zakky
Mubarak, MA
Salah satu hikmah dari pelaksanaan
puasa Ramadhan adalah menumbuhkan sikap jujur, rajin menegakkan keadilan dan
kebenaran. Ibadah puasa pada dasarnya memerlukan kejujuran dari setiap orang
yang melaksanakannya, baik jujur terhadap dirinya atau terhadap orang lain.
Tanpa kejujuran tidak mungkin ada ibadah puasa, karena ibadah itu dilakukan
dengan keinsyafan dan tidak ada pengawasan dari manusia lain. Allah s.w.t.
memerintahkan kepada kita agar menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebe¬naran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Maidah,
5:8).
Ayat tersebut memerintahkan kepada
kita agar: (1) Selalu menegakkan kejujuran serta kebenaran karena Allah semata.
Maksudnya kita berlaku jujur dan menegakkan kebenaran itu, tidak mengharapkan pamrih
materi atau kemewahan dunia lainnya, tetapi hanya mengharap keridhaan Allah
s.w.t. (2) Menjadi saksi yang adil, apabila kita diperlukan untuk memberikan
kesaksian, dalam rangka mencari kejelasan suatu perkara hendaknya bersedia
menjadi saksi yang adil. Kita harus selalu terpanggil untuk ikut andil dalam
melahirkan keputusan-keputusan yang benar dan jujur. (3) Janganlah kebencian
terhadap suatu kaum, mendorong kita untuk berbuat tidak adil. Menetapkan suatu
hukum harus selalu berdasarkan keadilan, baik terhadap orang yang dicintai
ataupun yang dibenci.
Yang dimaksud dengan jujur pada
kajian ini adalah sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan,
baik berupa harta ataupun tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat
dijuluki dengan sebutan “al-Amin” artinya orang yang terpercaya, jujur dan
setia. Dinamai demikian karena segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya
menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan dan rongrongan, baik yang
datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat jujur dan terper¬caya
merupakan sesuatu yang sangat dipentingkan dalam segala kehidupan, seperti
dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, hidup bermasyarakat dalam
berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan rumah tangga,
kejujuran harus dilakukan oleh seluruh anggota keluarga itu, demi ketentraman
dan kebahagiaan yang sama-sama didambakan. Sekiranya tidak ada kejujuran dalam
kehidupan suatu keluarga, maka tatanan keluarga itu menjadi porak-poranda.
Bayangkan, sekiranya anggota keluarga saling tidak jujur, suami terhadap istri
demikian pula sebaliknya, anak terhadap orang tua, demikian juga orang tua
terhadap anak, pasti rumah tangga itu akan menjadi berantakan.
Dunia perdagangan dan perniagaan
juga memerlukan kejujuran, dengan kejujuran perniagaan itu akan memperoleh
kemajuan yang tinggi, karena tidak ada orang yang dirugikan. Penjual ataupun
pembeli sama-sama memperoleh keuntungan yang bermanfaat bagi kelompoknya
masing-masing. Perdagangan yang tidak disertai dengan kejujuran, pasti akan
menimbulkan penipuan-penipuan, dengan jalan memalsu barang, mengurangi takaran,
yang kesemuanya itu akan mengakibatkan kerugian dan perdagangannya akan
bangkrut.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara juga memerlukan kejujuran semua pihak, jika tidak ada kejujuran
niscaya akan menimbulkan kegoncangan dan kekacauan di tengah-tengah kehidupan
dari masyarakat atau bangsa tersebut. Di antara faktor yang menyebabkan
Rasulullah Muhammad s.a.w. berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah
karena sifat-sifatnya dan akhlaknya yang terpuji. Salah satu sifatnya yang
menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga
beliau mendapat gelar “al-Amin” (orang yang terpercaya atau orang yang jujur).
Dalam mempertahankan dan menegakkan
keadilan haruslah dilakukan sejujur mungkin dan seobyektif mungkin, kepada
siapa saja dengan tidak memandang bulu. Kita harus bersikap adil meskipun
terhadap orang-orang yang tidak kita sukai, keadilan harus ditegakkan kepada
seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh melakukan diskriminasi. Mengenai hal
ini dijelaskan dalam firman Allah s.w.t.: “Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak(mu) dan kaum
kerabat(mu). Jika ia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan memberi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”. (QS. al-Nisa, 4:135).
Ibadah puasa yang dikerjakan sesuai
dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah akan membentuk para pelakunya menjadi
orang-orang yang bersikap adil, menegakkan kebenaran dan berlaku jujur dalam
segala aspek kehidupannya.
SUMBER: www.moslemforall.com
Belum ada Komentar untuk "Puasa Melatih Manusia Menjadi Hamba yang Jujur"
Posting Komentar